Klik untuk memperbesar foto. |
Adityawarman merupakan pelanjut dari Dinasti Mauli penguasa pada Kerajaan Melayu yang sebelumnya beribu kota di Dharmasraya, dan dari manuskrip pengukuhannya ia menjadi penguasa di Malayapura Swarnnabhumi atau Kanakamedini pada tahun 1347 dengan gelar Maharajadiraja Srīmat Srī Udayādityawarma Pratāpaparākrama Rājendra Maulimāli Warmadewa, dan di kemudian hari ibu kota dari kerajaan ini pindah ke daerah pedalaman Minangkabau.
Nama museum ini memang diambil dari nama raja besar yang pernah berkuasa di dataran Sumatera. Sebelumnya saya mengira museum ini adalah museum milik pribadi, yaa mas mas bernama Aditya itu tadi, ealaaah ternyata bukan.
Sebelum berkunjung ke Museum Adityawarman, ada baiknya cek dulu informasi berikut ini tentang jam buka, jam tutup, dan biaya tiket masuknya. Dengan info ini, kamu bisa lebih siap dan atur waktu kunjunganmu supaya perjalanan ke museum jadi lebih seru dan nyaman.
Waktu Kunjungan | Harga Tiket Masuk Museum Adityawarman |
---|---|
Senin: Tutup | Anak-anak: Rp 1.050,- Dewasa: Rp 2.050,- Rombongan: Minimal 50 orang, diskon 50% |
Selasa-Jumat: 08.00-16.00 WIB | |
Sabtu-Minggu: 08.30-16.00 WIB | |
*Hari besar dan libur nasional tetap buka |
Kalau bicara soal pakaian adat tradisional minang untuk pernikahan, khusus untuk perempuan, ada aksesoris di kepala yang cantik banget, disebut Suntiang.
Suntiang, sebagai kekhasan pengantin Minangkabau Pesisir yang berasal dari daerah Padang Pariaman. Kembang-kembang suntiang ini umumnya bertingkat dengan ganjil dimulai dari tujuh tingkat hingga sebelas tingkat. Ada juga suntiang bertingkat mulai dari tiga hingga lima yang biasanya digunakan untuk pendamping pengantin atau dikenal juga dengan sebutan Pasumandan. Namun karena alasan kepraktisan dan menyesuaikan dengan bentuk wajah, kini tingkatan pada Suntiang dipertahankan ganjil namun jumlah tingkatannya disesuaikan dengan kemampuan dan kemauan si pengantin. - Dikutip dari : sutanmudo.web.id
Di dalam museum ini banyak dipajang kain tradisional yang berasal dari 34 provinsi yang ada di Indonesia.
Yang paling menarik saya di Museum Adityawarman ini adalah bagian pameran kain tradisionalnya. Di Museum Adityawarman ini, terpanjang kain tradisional dari Sabang sampai Merauke, semua ada di museum ini. Sayangnya nggak semua bisa saya abadikan. Kain tradisional ini dipajang di papan kaca setinggi kurang lebih 2,5 meter, nah salah satu yang membuat agak tidak nyaman adalah dikarenakan papan pajangan kain ini cukup tinggi, jadi menutupi cahaya yang masuk dari jendela dan membuat ruangan museum jadi terkesan gelap. Alhasil jadi sulit mengambil foto jika menggunakan ponsel.
Kain Koffo yang berasal dari Sulawesi Utara. Terbuat dari bahan serat manilla atau serat pisang hutan. |
Maluku |
Sulawesi Tenggara |
Alat tenun untuk membuat kain songket. |
Aksara Minangkabau. Sekilas mirip huruf Arab yaa? |
Aaah, senangnya, bersyukur karna diberi kesempatan untuk bisa singgah di Kota Padang dan menikmati keindahan alam & arsitektur bangunan khas minang yang atapnya istimewa itu, hihi. Semoga esok masih bisa jumpa lagi.
Museum Adityawarman bukan cuma tempat buat lihat-lihat barang kuno, tapi juga tempat yang seru buat kenal lebih dekat sama budaya Sumatera Barat. Setiap sudutnya punya cerita, dan dengan berkunjung ke sini, kita jadi bisa lebih paham betapa kayanya warisan budaya kita. Yuk dateng ke Museum Adityawarman dan rasakan sendiri atmosfer sejarah yang ada di dalamnya.
Selain menambah pengetahuan, datang ke Museum Adityawarman juga jadi langkah kecil kita buat menjaga dan melestarikan budaya Minangkabau. Sebagai generasi penerus, kita punya peran penting buat terus merawat dan memperkenalkan warisan ini ke dunia. Dengan berkunjung ke museum ini, kita ikut ambil bagian dalam melestarikan sesuatu yang berharga.
Jadi, kalau ada waktu luang, jangan lupa mampir ke Museum Adityawarman yaa. Ajak teman-teman atau keluarga buat sama-sama menikmati perjalanan seru ini. Dengan mengunjungi museum, kita nggak cuma jalan-jalan, tapi juga ikut melestarikan budaya Sumatera Barat. Siapa tahu, setelahnya kamu jadi makin cinta sama budaya lokal.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Posting Komentar